Selamat Datang di WebBlog Pemerintahan Desa Nanjung Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung, Kepada Masyarakat jika mempunyai unek-unek, saran maupun Kritik terhadap kinerja Pemerintahan Desa Nanjung Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung layangkan email ke desananjung1@gmail.com

nanjung.desa.id

Minggu, 19 Oktober 2014

Profil Kepala Desa 2013 - 2019


Nama     : Dian Irawan , SE

Kamis, 09 Oktober 2014

PP 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang ditunggu-tunggu, akhirnya setelah setengah tahun sejak awal tahun 2014 UU Desa disahkan, untuk dapat segera dilaksanakan pada tahun depan tepatnya tahun 2015. Berbagai hal diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini. Sosialisasi yang jelas serta bagaimana desa akan lebih mudah mengimplementasikan UU Desa adalah tugas setiap warga desa, serta menjaga agar sejumlah dana yang memang hanya segitu perdesa dapat digunakan semaksimal mungkin demi sebesar-besarnya kemakmuran warga masyarakat Desa. File PP No 43 tahun 2014,
PP tentang UU Desa akhirnya diterbitkan Pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Mei 2014 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keluarnya Peraturan Pelaksanaan UU tentang Desa ini berdasarkan pertimbangan untuk melaksanakan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berisi 91 halaman termasuk penjelasan. Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini didalamnya mengatur tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa, Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat desa, dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau sebutan yang lainnya.

Kewenangan Desa

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi:

    Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
    Kewenangan lokal berskala Desa;
    Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah  kabupaten/kota; dan
    Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya terdiri atas:

    Sistem organisasi masyarakat adat;
    Pembinaan kelembagaan masyarakat;
    Pembinaan lembaga hukum adat;
    Pengelolaan tanah kas desa; dan
    Pengembangan peran masyarakat desa.

Kewenangan Lokal Berskala Desa

Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit di antaranya meliputi:

    Pengelolaan tambatan perahu;
    Pengelolaan Pasar Desa;
    Pengelolaan tempat pemandian umum;
    Pengelolaan jaringan irigrasi;
    Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa;
    Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
    Pengelolaan Embung Desa;
    Pengelolaan air minum berskala desa; dan
    Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.

Selain kewenangan sebagaimana hal diatas. Menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal. (menurut Pasal 34 ayat 3 PP Desa).

Pemerintahan Desa


    “Penjabat kepala desa berasal dari Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintahan daerah kabupaten/kota,”

Tentang pemilihan kepala desa, disebutkan pada Pasal 40 PP 43/2014 bahwa, pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota, dan dapat dilaksanakan bergelombang paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) tahun.

Jika terjadi kekosongan jabatan kepala desa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa yang serentak, maka bupati/walikota menunjuk penjabat kepala desa. Hal ini disebutkan pada Pasal 40 ayat (4) :
Jabatan Kepala Desa

Lama jabatan Kepala Desa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 ini, Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan dapat menjabat paling lama 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.


    “Dalam hal Kepala Desa mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya atau diberhentikan, Kepala Desa dianggap telah menjabat 1 (satu) periode masa jabatan,” Pasal 47 Ayat (5).

Perangkat Desa
Perangkat Desa yang berkedudukan sebagai unsur pembantu Kepala Desa terdiri dari:

    Sekretariat Desa yang dipimpin oleh Sekretaris Desa;
    Pelaksana Kewilayahan yang jumlahnya ditentukan secara proporsional; dan
    Pelaksana Teknis, paling banyak 3 (tiga) seksi.


Syarat Menjadi Perangkat Desa

PP 43/2014 menegaskan, perangkat desa diangkat dari warga desa yang memenuhi persyaratan:

    Berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
    Berusia 20 tahun – 42 tahun;
    Terdaftar sebagai penduduk desa dan paling tidak telah bertempat tinggal selama 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
    Syarat lain yang ditentukan dalam peraturan daerah kabupaten/kota.

Penghasilan Tetap dan Tunjangan Kepala Desa
Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD), yang merupakan pendapatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pengalokasian ADD untuk Kepala Desa dan perangkat desa menggunakan perhitungan sebagai berikut: a. ADD yang berjumlah kurang dari Rp 500.000.000 digunakan maksimal 60%; b. ADD RP 500 juta – Rp 700 juta digunakan maksimal 50%; c. ADD Rp 700 juta – Rp 900 juta digunakan maksimal Rp 40%; dan d. ADD di atas Rp 900 juta digunakan maksimal 30%.


    “Bupati/Walikota menetapkan besaran penghasilan tetap a. Kepala Desa; b. Sekretaris Desa paling sedikir 70% dari penghasilan Kepala Desa setiap bulan; c. Perangkat Desa paling sedikit 50% dari penghasilan tetap Kepala Desa setiap bulan,” bunyi Pasal 81 Ayat (4a,b,c), Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014.

    PP 43/2014 menyebutkan juga tentang tunjangan Kepala Desa, bahwa, selain menerima penghasilan tetap, Kepala Desa dan Perangkat Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah, yang dapat bersumber dari APB Desa.

Penyelenggaraan Kewenangan Desa

    “Seluruh pendapatan desa diterima dan disalurkan melalui rekening kas desa dan penggunaannya ditetapkan dalam APB desa,” Pasal 91 PP 43 Tahun 2014

Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan pada hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang didanai oleh APB Desa, dan juga dapat didanai oleh APBN dan APBD dari Provinsi maupun Kabupaten/Kota melalui ADD misalnya.

Anggaran untuk menyelenggarakan kewenangan Desa yang didapat atau ditugaskan oleh Pemerintah Pusat akan didanai dengan APBN melalui alokasi dari bagian anggaran Kementrian/Lembaga dan disalurkan melalui SKPD – Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota. Selain itu penyelenggaraan kewenangan desa yang didapatkan melalui Pemerintah Daerah akan didanai dengan APBD dari Propinsi, dan Kabupaten atau Kota

Sumber Forumdesa.or,id

Senin, 06 Oktober 2014

Apa yang dimaksud dengan SILPA APBDES?

sebelum kita bahas lebih lanjut tentang SILPA APBDES, ada baiknya kita pahami maknanya bahwa SILPA adalah: sisa Lebih Perhitungan Anggaran. Atau bisa disebut dengan Selisih antara penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 periode.
Namun jika dilihat dari struktur APBDES, anda akan menemui dua macam istilah SILPA yaitu:
SiLPA : i huruf kecil
SILPA : dengan I huruf besar. Lalu apa beda antara keduanya?
untuk lebih jelasnya, kita lihat struktur APBD/APBDES sebagai berikut:


Dari struktur APBDES diatas, bisa dijelaskan bahwa:
-Selisih antara Pendapatan dan Belanja mengakibatkan Surplus/Defisit
-Selisih antara Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan disebut Pembiayaan Netto
-SILPA Tahun Berjalan adalah Selisih antara Surplus/Defisit dengan pembiayaan Netto
-Jika terjadi defisit, pembiayaan Netto harus bisa menutup defisit anggaran

Lalu  apa beda antara SiLPA (huruf i kecil) dengan SILPA (huruf I Besar)?
SiLPA ( Huruf i Kecil) adalah Selisih realisasi penerimaan dan belanja dalam 1 tahun anggaran. SiLPA ini adalah sub detail dari Penerimaan Pembiayaan
SILPA ( huruf  I Besar) adalah Sisa lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berjalan, yaitu selisih antara Surplus/defisit dengan Pembiayaan Netto. Angka SILPA ini dalam penyusunan APBDES seharusnya nol. Artinya Pembiayaan Netto harus bisa menutup defisit anggaran.
Jika SILPA Positif, berarti besarnya Pembiayaan Netto, setelah dikurangi untuk menutup defisit anggaran, masih ada dana tersisa
Jika SILPA Negatif, berarti Pembiayaan Netto belum mampu untuk menutup defisit anggaran.
untuk itu perlu dicari jalan keluarnya dengan mencari sumber  penerimaan lain seperti pinjaman atau pencairan dana cadangan, sehingga angka SILPA Nol.

sumber SIMKADES

TEKNOLOGI MEMBANGUN DESA

Teknologi? Mendengar kata ini, pikiran Rita senantiasa seperti 'terpaku' pada high-tech. Padahal teknologi tidak selalu identik dengan high-tech dengan mesin-mesin modern yang serba terkomputerisasi. Peralatan yang sangat sederhana yang tanpa kita pernah sadari dan sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari pun bisa disebut pula dengan teknologi.

Dalam peradaban manusia, teknologi sudah banyak membantu kehidupan manusia hingga detik kini. Masih ingat bagaimana manusia purba yang hidup ratusan tahun yang lalu dalam menggunakan kapak yang terbuat dari pecahan batu saat hendak memotong atau megupas sesuatu. Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman, teknologi dikembangkan untuk membuat hidup lebih baik, efisien, dan mudah. Penggunaan pecahan batu mulai ditinggalkan yang kemudian mulai tergantikan dengan potongan besi/baja atau sekarang kita sebut dengan pisau. Singkat kata, teknologi merupakan upaya manusia dalam membuat kehidupannya menjadi lebih sejahtera, lebih baik, lebih mudah, lebih enak dan seribu 'lebih' lainnya.

Tak bisa dihindari, manusia selalu hidup bersama teknologi. Sudah jutaan manusia yang hidupnya terbantu oleh kemajuan teknologi. Tidak hanya   masyarakat yang hidup diperkotaan, masyarakat yang mendiami daerah-daerah terpencil pun kini sudah merasakan kemajuan teknologi. Bagaimana para petani yang biasanya membajak sawah menggunakan kerbau, kini mulai beralih menggunakan alat membajak dengan menggunakan mesin. Para nelayan tidak lagi melaut hanya mengandalkan tiupan angin. Mereka sudah mulai menggunakan mesin motor untuk melaut. Dengan adanya teknologi, sudah tak terhitung berapa orang warga desa yang terbantu hidupnya. Dalam bekerja, mereka semakin lebih mudah.

Hadirnya teknologi di desa, secara tidak langsung meningkatkan kemampuan produksi, memberikan nilai tambah pada komoditas lokal unggulan (local content), menciptakan lapangan kerja dan   meningkatkan pendapatan masyarakat. Tidak hanya itu saja, teknologi menciptakan kelompok-kelompok usaha mandiri yang berkemampuan dalam kegiatan ekonomi produktif. Teknologi membuat desa semakin maju.

Pada umumnya teknologi yang banyak diserap dan digunakan oleh masyarakat desa adalah Teknologi Tepat Guna (TTG). Ciri khas yang paling mendasar dari TTG adalah dapat dibuat dengan biaya yang relatif murah, cara membuatnya sangat mudah, dan menggunakan sumber-sumber daya setempat. Jenis TTG yang banyak digunakan cenderung merupakan alat atau mesin yang menunjang sektor pertanian, peternakan, perikanan, kesehatan, pengolahan pangan, pengelolaan air, sanitasi, dan sampah, pengelolaan masakan, tanaman obat dan sebagainya.   Secara teknis, TTG merupakan jembatan antara teknologi tradisional dan teknologi maju. Namun sayangnya ketergantungan terhadap   Bahan Bakar

Minyak (BBM) makin hari semakin tinggi. Memang, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Namun jika tidak bisa dapat mengatur dalam pemanfaatan sumber energi seefisien mungkin, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan Indonesia akan menjadipengimpor energi.

Maka untuk mewujudkan kemandirian energi pada tahun 2025 seperti diamanatkan dalam PP 5 Tahun 2006, sudah saatnya kita untuk mencari sumber energi alternatif/ baru. Salah satunya adalah memanfaatkan biji jarak untuk dijadikan biodiesel. Bisakah terwujud?


Berawal dari harga minyak dunia yang tinggi hingga mencapai 40 US $ per barel hingga pasokan minyak tanah di seluruh Indonesia yang mulai seret, maka dicari solusi produk baru sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM). Ditemukan biji jarak yang bisa dijadikan biodiesel. Untuk tingkat paling sederhana biji jarak bisa longsung dipakai untuk memasak dengon menggunakan kompor biji jarak. Karena fungsi biji jarak sebagai pengganti sumbu kompor don minyak.

Dalam kondisi itu, diperlukan tindokan cepat dan cermat. Maka keluarlah Pepres No.5 tentang kebijakan Energi Nasional, kemudian disusul dengan Inpres No.1 tahun 2006 tentang bahan bakar nabati. Semua itu dilakukan dalam rongka mencari bahan bakar nabati pengganti BBM. Hal ini diielaskan oleh Dra. Anna Gurning, Msi., Kasi Rehabilitasi Lingkungan pada Dirjen PMD.   "Dengan dasar itulah pertengahan tahun 2006 Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyorakatdan Desa (Ditjen PMD) mencetuskan Desa Mandiri Energi (DME)" jelasnya.

Meskipun dasar hukum mengenai DME sudah jelas, namun tetap saja ada hambatan. Salah satu yang menjadi masalah klasik adalah masalah perdanaan. Sehingga DME tidak bisa diterapkan secara serempak ke seluruh desa yang ada di Indonesia. "Akhirnya kami pilih lima lokasi untuk dijadikan pilot project di Indonesia," paparnya.

Pada Tahun 2007 terpilih 5 daerah yang dijadikan pilot project yaitu Banten, Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggora. Tahun 2008 terpilih 5 lokasi daerah. Dan pada tahun 2009 terpilih 4 lokasi daerah DME. Ada tiga acuan yang digunakan dalam rangka penentuan desa lokasi DME, kata Anno Gurning. Pertama, data dari Badan Pusat Statistik, jumlah data miskin di Indonesia yang lebih dominan. Kedua, banyaknya lahan kritis (Badan Planologi, Departemen Kehutanan). "Ketiga, data dari departemen pertanian mengenai lahan untuk kesesuaian jarak pagar." paparnya.

Untuk menghasil pohon jarak dengan kondisi baik, Ditjen PMD melakukan kerjasama dan koordinator dengan Departemen Pertanian. Karena DME yang dimulai pada 2007 targetnya harus mencapai tiga ribu desa. Untuk membuat semangat, DME selalu melakukan lomba. Rencana ke depan adalah Ditjen PMD tidak menambah desa lagi, tapi menjadikan 14 desa pilot project menjadi desa DME. Jika lima desa saja dapat menjadi desa DME maka itu merupakan prestasi yang bagus. Untuk mencapai tujuan tersebut akan dilakukan pembinaan yang intensif. "Dengan cara kita lebih mengandalkan konsultasi dan dialog ke Pemda, agar investasi yang sudah diberikan tidak sia-sia," kata Anna Gurning.

Tahun depan, direncanakan akan dilakukan pembagian kompor biji jarak kepada warga desa. Jadi minimal desa pilot project DME sudah menggunakan kompor biji jarak. Dengan begitu akan menjadi contoh pada desa pilot project lainnya untuk menanam dan menggunakan biji jarak pagar. Untuk desa percontohan pohon jarak pagar yang buahnya dalam kondisi bagus di Desa Gunung Jati, Serang-Jawa Barat. Seandainya jarak pagar tidak termanfaatkan, tapi kondisi positifnya adalah lahan kritis sudah tidak ada karena sudah ditanam pohon jarak pagar.

Buah Jarak Primadona Energi

Ada pun mekanisme penyaluran biji jarak ke masyarakat sebagai berikut, setelah pemilihan lokasi untuk desa yang akan menjadi pilot project DME, Dirjen PMD atas nama menteri mengirim surat ke Bupati masing-masing wilayah untuk menentukan desa lokasi DME dengan kriteria yang ditentukan. "Setelah dilakukan evaluasi pada desa yang telah ditunjuk Bupati, baru program dikucurkan mulai dari memberikan buah biji jarak ke petani, memberikan upah, memberikan mesin, serta memberikan pelatihan. Hingga pemanfaatan dan pemeliharaan mesin," ucapnya.

Lantaran Ditjen PMD yang menentukan desa lokasi untuk pilot project DME maka "sense of belonging" dari masyarakat desa kurang. "Kecuali mereka yang menulis proposal untuk dijadikan desa pilot project, karena rasa memilikinya sudah ada," pungkasnya. Ada pun  lahan yang diperlukan untuk menanam biji jarak adalah seluas 16 hektar. 16 Ha tersebut dibagi-bagi lagi menjadi 1 .hektar untuk pembenihan, 5 hektar untuk kebun induk serta 10 hektar untuk demonstration plot (demplot) atau area percontohan. "Tapi pada prakteknya hanya 15 hektar. Untuk 1 hektar jika cara menanamnya dengan cara monokultur dibutuhkan 1 kg biji jarak, yang akan menghasilkan 1.000 pohon. Estimasinya yong tumbuh sekitar 800 pohon," jelasnya.

Meskipun demikian pada waktu mesin akan diturunkan, pohon jarak belum berbuah serta koordinasi lintas sektor di daerah kurang. Itulah satu dari sekian kendala yang dihadapi. Akibatnya, pohon jarak tidak menghasilkan buah sesuai masa kerjanya, yaitu dalam waktu 6 bulan pohon jarak akan menghasilkan buah 250 kg dari lahan 1 hektar. "Pohon jarak akan maksimal setelah 3 tahun. Dengan catatan harus dirawat korena akan menghasilkan buah yang banyak", lanjut Anna.

BerpikirJangka Pendek

Disamping itu, tidak mudah bagi mereka untuk memberikan pemahaman tentang DME kepada warga desa. Sebab, warga desa umumnya hanya berpikir jangka pendek. "Warga desa hanya berpikir tanam, jual dan dapat uang. Mereka tidak berpikir biji jarak itu dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari," sambungnya. Padahal waktu yang dipakai untuk mencari kayu bakar bisa dipakai untuk kegunaan yang lain. "Uang yang dipakai untuk koyu bakar bisa dipakai untuk kebutuhan yang lain. Semuanya itu berar+i mengurangi beban masyarakat/tuturnya. "Kami secara bertahap ingin mengubah pola pikir warga desa. Dengan ada DME, beban pengeluaran masyarakat miskin bisa berkurang. Mereka tidak menjarah dan merusak hutan untuk mencari kayu bakar. "Ini berarti warga desa sudah memberikan kontribusi untuk mengurangi pemanasan global (global warming),"pungkasnya.

Karena terbiasa dengan pikiran instan, sementara satu sisi DME merupakan proses mulai dari penyiapan lahan, penyemaian, penanaman dan perawatan, DME seakan jalan ditempat. Namun bagaimana pun, DME merupakan investasi yang harus dilakukan mulai sekarang.  Dari 5 lokasi yang dijadikan pilot project poda 2007, kata Anna Gurning sudah menghasilkan. Tapi pada kenyataan sampai saat ini belum maksimal. "Ini karena koordinasi dan perhatian Pemda kepada program DME itu kurang. Mereka menganggap bahwa ini bukan program prioritas. Kalaupun bahan bakar sampai saat ini terjangkau tapi persediaannya hanya untuk 20 tahun," ujarnya. Ada pun lokasi DME yang benar-benar berhasil ada di Lampung Timur. Ini karena animo dan binaan dari Pemda sangat intensif. Timbul pemikiran baru, bagaimana caranya ke depan agar semua program dapat berjalan sebagaimana adanya karena kecenderungan untuk membuat pemahaman bahwa DME bukan program pusat melainkan merupakan program nasional.

sumber : Jurnal Terpadu Depdagri.

Jumat, 03 Oktober 2014

POTENSI DESA DAN PERKEMBANGAN DESA

Desa dalam kehidupan sehari-hari sering diistilahkan dengan kampung,yaitu suatu daerah yang letaknya jauh dari keramaian kota dan dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sebagian besar mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Hal ini sejalan dengan pengertian desa menurut Daldjoeni (2003)bahwa, “Desa merupakan permukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya berpangupajiwa agraris”. Desa dengan berbagai karakteristik fisik maupun sosial, memperlihatkan adanya kesatuan di antara unsur-unsurnya. Sebagaimana menurut R. Bintarto (1977) bahwa wilayah perdesaanmerupakan suatu perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomis, politis dan kultural yang terdapat di situ dalam hubungannya dan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lainnya. Adapun secara administratif, desa adalah daerah yang terdiri atas satu atau lebih dukuh atau dusun yang digabungkan, sehingga menjadi suatu daerah yang berdiri sendiri dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri (otonomi).

1. Ciri khas desa Suatu daerah dikatakan sebagai desa, karena memiliki beberapa ciri khas yang dapat dibedakan dengan daerah lain di sekitarnya. Berdasarkan pengertian Dirjen Pembangunan Desa (Dirjen Bangdes), ciri-ciri desa yaitu sebagai berikut:

a. perbandingan lahan dengan manusia (mand land ratio) cukup besar;

b. lapangan kerja yang dominan ialah sektor pertanian (agraris);

c. hubungan antarwarga desa masih sangat akrab;

d. sifat-sifat masyarakatnya masih memegang teguh tradisi yang berlaku.

Masih banyak ciri-ciri desa lainnya yang dapat kita temui. Sekarang, cobakamu kenali hal-hal lain yang dapat dijadikan sebagai ciri-ciri desa Sebagai daerah otonom, desa memiliki tiga unsur penting yang satu sama lain merupakansatu kesatuan. Adapun unsur-unsur tersebut menurut R. Bintarto (1977) antaralain:

a. Daerah, terdiri atas tanah-tanah produktif dan non produktif serta penggunaannya, lokasi, luas, dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat.

    b. Penduduk, meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, penyebaran dan mata pencaharian penduduk.

c. Tata kehidupan, meliputi pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan hidup (living unit), karenadaerah yang menyediakan kemungkinan hidup. Penduduk dapat menggunakankemungkinan tersebut untuk mempertahankan hidupnya. Tata kehidupan, dalamartian yang baik, memberikan jaminan akan ketenteraman dan keserasian hidup bersama di desa.

2. Potensi desa  Maju mundurnya desa, sangat tergantung pada ketiga unsur di atas.Karena, unsur-unsur ini merupakan kekuasaan desa atau potensi desa. Potensidesa adalah berbagai sumber alam (fisik) dan sumber manusia (non fisik) yang tersimpan dan terdapat di suatu desa, dan diharapkan kemanfaatannya bagikelangsungan dan perkembangan desa. Adapun yang termasuk ke dalam potensidesa antara lain sebagai berikut.

a. Potensi fisik Potensi fisik desa antara lain meliputi:

1) tanah, dalam artian sumber tambang dan mineral, sumber tanaman yang merupakan sumber mata pencaharian, bahan makanan, dan tempat tinggal.

2) air, dalam artian sumber air, kondisi dan tata airnya untuk irigasi, pertanian dan kebutuhan hidup sehari-hari.

3) iklim, peranannya sangat penting bagi desa yang bersifat agraris.

4) ternak, sebagai sumber tenaga, bahan makanan, dan pendapatan.

5) manusia, sebagai sumber tenaga kerja potensial (potential man power) baik pengolah tanah dan produsen dalam bidang pertanian, maupun tenaga kerja industri di kota.

b. Potensi non fisik Potensi nonfisik desa antara lain meliputi:1) masyarakat desa, yang hidup berdasarkan gotong royong dan dapat merupakan suatu kekuatan berproduksi dan kekuatan membangun atas dasar kerja sama dan saling pengertian.

    2) lembaga-lembaga sosial, pendidikan, dan organisasi-organisasi sosial yang dapat memberikan bantuan sosial dan bimbingan terhadap masyarakat.

3) aparatur atau pamong desa, untuk menjaga ketertiban dan keamanan demi kelancaran jalannya pemerintahan desa.

3. Perkembangan desa-kota Potensi suatu desa tidaklah sama, tergantung pada unsur-unsur desa yangdimiliki. Kondisi lingkungan geografis dan penduduk suatu desa dengan desalainnya berbeda, maka potensi desa pun berbeda. Potensi yang tersimpan dandimiliki desa seperti potensi sosial, ekonomi, demografis, agraris, politis, kulturaldan sebagainya merupakan indikator untuk mengadakan suatu evaluasi terhadapmaju mundurnya suatu desa (nilai desa). Dengan adanya indikator ini, makaberdasarkan tingkat pembangunan dan kemampuan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, desa diklasifikasikan menjadi desa swadaya, desaswakarya, dan desa swasembada.

a. Desa swadaya (desa terbelakang) adalah suatu wilayah desa yang masyarakat sebagian besar memenuhi kebutuhannya dengan cara mengadakan sendiri. Desa ini umumnya terpencil dan masyarakatnya jarang berhubungan dengan masyarakat luar, sehingga proses kemajuannya sangat lamban karena kurang berinteraksi dengan wilayah lain atau bahkan tidak sama sekali.

b. Desa swakarya (desa sedang berkembang), keadaannya sudah lebih maju dibandingkan desa swadaya. Masyarakat di desa ini sudah mampu menjual kelebihan hasil produksi ke daerah lain, di samping untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Interaksi sudah mulai nampak, walaupun intensitasnya belum terlalu sering.

c. Desa swasembada (desa maju) adalah desa yang sudah mampu mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Hal ini ditandai dengan kemampuan masyarakatnya untuk mengadakan interaksi dengan masyarakat luar, melakukan tukar-menukar barang dengan wilayah lain (fungsi perdaganagan) dan kemampuan untuk saling mempengaruhi dengan penduduk di wilayah lain. Dari hasil interaksi tersebut, masyarakat dapat menyerap teknologi baru untuk memanfaatkan sumber dayanya sehingga proses pembangunan berjalan dengan baik.

    Selama ini, membangun desa-desa di Indonesia sudah banyak dilakukanoleh pemerintah, seperti program PMD (Pembangunan Masyarakat Desa) danmodernisasi desa. Pembangunan desa berarti membina dan mengembangkanswadaya masyarakat desa melalui pemanfaatan potensi yang dimiliki secaraoptimal, sehingga tercapai kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakatdesa. Baik PMD maupun modernisasi desa pada dasarnya memiliki tujuan yangsama, yaitu:a. memberi gairah dan semangat hidup baru dengan menghilangkan pola kehidupan yang monoton, sehingga warga desa tidak merasa jenuh;b. meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi warga desa;c. meningkatkan bidang pendidikan. Adanya pembangunan di pedesan seperti ini, diharapkan dapat menahanlaju urbanisasi yang selama ini menjadi permasalahan kompleks terutama bagidaerah perkotaan. Perkembangan desa tidak hanya dipengaruhi oleh potensinya,beberapa faktor lain juga sangat menentukan, seperti faktor interaksi (hubungan)dan lokasi desa. Adanya kemajuan-kemajuan di bidang perhubungan dan lalulintas antardaerah, menyebabkan sifat isolasi desa berangsur-angsur berkurang. Desa-desa yang berdekatan dengan kota mengalami perkembangan yangcepat dibandingkan desa lainnya akibat dari banyaknya pengaruh kota yangmasuk. Daerah pedesaan di perbatasan kota yang mudah dipengaruhi oleh tatakehidupan kota disebut dengan rural urban areas atau daerah desa-kota. Daerahini juga merupakan suburban fringe, yaitu suatu area melingkari suburban danmerupakan daerah peralihan antara daerah rural dengan daerah urban. MenurutBintarto (1977), petani-petani di daerah desa-kota keadaannya lebih maju daripetani di daerah pedesaan, karena:

1) jarak yang dekat dengan kota, sehingga pergaulan antarwarga boleh dikatakan agak tinggi;

2) kemungkinan bersekolah bagi anak-anak lebih besar daripada anak-anak di desa-desa yang agak jauh;

3) kesempatan memperoleh mata pencaharian tambahan di kota dimungkinkan dengan adanya letak yang berdekatan dengan kota.